Kamis, 11 September 2014

Tugas Kuliah tentang "Alergi Hidung" part 3

BATASAN
Suatu reaksi abnormal (hipersensitif) yang bersifat khas, yang timbul pada penderita atopi, bila terjadi kontak dengan suatu bahan (antigen/alergen) yang pada orang normal tidak menyebabkan reaksi apapun. Reaksi yang dimaksud ialah bersin-bersin paroksismal, pilek encer, dan hidung buntu.



ETIOLOGI
Alergen:
  • Inhalan : debu rumah, debu kapuk, jamur, bulu hewan, dsb.
  • Ingestan : buah, susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan dsb.

PATOFISIOLOGI
Sebagai manifestasi reaksi antigen antibodi pada hidung sebagai "shock organ", timbul dilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler, sehingga timbul oedema Karena terjadi peningkatan sekresi kelenjar, maka timbul sekresi yang encer.
Terjadi penumpukan eosinofil di daerah reaksi dan sekitarnya.

GEJALA KLINIK
  • Serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab.
  • Didahului rasa gatal pada hidung, mata, atau kadang-kadang palatum mole.
  • Bersin-bersin paroksismal, pilek encer dan buntu hidung.
  • Gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang-kadang disertai sakit kepala.
  • Mungkin ada manifestasi alergi pada organ lain.
  • Tidak ada tanda-tanda infeksi ( misalnya panas badan ).
  • Mungkin ada riwayat alergi pada keluarga.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis yang lengkap dan cermat.
2. Pemeriksaan:
Rinoskopi anterior : konka oedema dan pucat, sekret seromusinus.
Pemeriksaan tambahan:
  • Eosinofil sekret hidung. Positif bila >= 25 %.
  • Eosinofil darah .Positif bila > 400 / mm.
  • Teskulit: "Prick test".
  • X foto Water’s, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis.
  • Bila diperlukan dapat diperiksa: * IgE total serum ( RIST dan PRIST ). Positif bila > 200 IU.
  • Ig E spesifik ( RAST ).

DIAGNOSIS BANDING
  1. Rinitis akut ("Infectious Rhinitis"): ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen.
  2. Rinitis karena Iritan ("Irritan Contact Rliinitis") : karena merokok, iritasi gas, bahan imia, debu pabrik, bahan kimia pada makanan.
  3. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan alergi yang negatif.
  4. Rinitis medikamentosa ("Drug Induced Rhinitis") : karena penggunaan tetes hidung dalam jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin, klor promasin, dan fenotiasin yang lain.
  5. Rinitishormonal("HormonallylnducedRliinitis"): Pada penderita hamil,hipertiroid, penggunaan pil KB.
  6. Rinitis vasomotor

PENYULIT
  • Sinusitis paranasal (tersering sinusitis maksilaris).
  • Polip hidung.
  • Otitis media.

TERAPI
1. Hindari alergen penyebab.
2. Simtomatik:
  • Antihistamin ( pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4 mg atau Loratadin/ Astemizole 1 x 10 mg sehari ).
  • Kortikosteroid (Deksametason, Betametason), ingat kontra indikasi.
  • Diberikan dengan "tappering off".
  • Dekongestan lokal: tetes hidung. Larutan Efedrin 1/2-1%, atau Oksimetazolm 0.025% - 0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dan seminggu.
  • Bila perlu buntu hidung dapat diterapi dengan kaustik konka inferior.
  • Dekongestan oral: Psedoefedrin, 2 - 3 x 30 - 60 mg sehari.
3. Meningkatkan kondisi tubuh:
  • Olah raga pagi.
  • Makanan yang baik.


http://www.irwanashari.com/663/rinitis-alergi.html
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang diperantarai oleh Ig E.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24 – 48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah di proses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Compleks) yang kemudian di presentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin – 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (Ig E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas vaskuler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianis, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator infalmasi dari granulnya seperti  Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1)      Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur.
2)      Alergen ingestan, yang masuk kesaluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, cokelat, ikan, udang.
3)      Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penicilin dan sengatan lebah.
4)      Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang satu atau lebih organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :
1)      Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat nonspesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2)      Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunonogik, maka respons berlanjut menjadi respons tersier.
3)      Respons tersier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hipersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hipersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1 atau rinitis alergi.
Dahulu, rinitis alergi dibedakan dalam dua macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1)      Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2)      Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1)      intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2)      Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1)      Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, beolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2)      Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
  • Rinitis Alergi musiman
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rinokonjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal, disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.
  • Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (Perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen dalam rumah terdapat pada kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan fases tungau D.pteronyssinus, D.Farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anjing, kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering di temukan.
Pemeriksaan Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapaat terjadi terus menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang irreversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Gejala Klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya, bersin merupakan suatu gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.


PENDAHULUAN
Rhinitis alergi (RA) secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi
hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung
diperantarai Imunoglobulin E. Penyakit ini merupakan alergi kronis yang paling
umum dijumpai. Sebanyak 10% orang dewasa dan 40% anak-anak di Amerika
Serikat (AS) terserang penyakit ini. Oleh sebab itu, rhinitis alergi merupakan satu
dari sekian banyak penyakit yang ditangani para praktrisi sebagai perawatan
primer.1
Selain itu, rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup
serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala
yang dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan
mengalami keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, sering
meninggalkan sekolah atau pekerjaannya, dan menghabiskan biaya yang besar
bila menjadi kronis. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu
diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat
mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.2
Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rhinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut
Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung
menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun.3 Berdasarkan
survei dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),
pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi
rinitis alergi sebesar 18%.4
Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting,
ditinjau dari faktor allergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.2 Alergen
saluran napas di antaranya berupa tungau debu rumah, kecoak, polen, serpihan
kulit hewan, atau spora jamur. Sebagai upaya mengontrol lingkungan sehingga
tidak membahayakan, salah satunya adalah dengan sebisa mungkin menghindari
tungau debu rumah seperti karpet, kapuk, bahan beludru pada sofa atau gordyn,
ventilasi yang baik di rumah atau kamar, jauh dari orang yang sedang merokok,
2
menghindari makanan yang diketahui sering menyebabkan alergi, seperti susu,
telur, makanan laut, cokelat, serta menghindari kecoak dan serpihan kulit binatang
peliharaan.5
Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang membran mukosa
nasal dan menimbulkan rinitis iritan non-alergi dengan gejala iritasi yang
predominan. Adanya perbaikan waktu malam, akhir minggu, dan libur menunjang
diagnosis rhinitis oleh iritan. Di samping itu, bau-bauan seperti wewangian, asap
rokok, pewangi ruangan dan lainnya dapat pula menimbulkan eksaserbasi rhinitis.
Bahan korosif dapat merusak sistem olfaktorius dan menimbulkan obstruksi dan
post-nasal drip yang permanen.6
3
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Rhinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus
yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung
sari yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,
bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,
yaitu : berair, kemerahan dan gatal.2
Rinitis alergi juga didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsi hidung
yang terjadi setelah terpajan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.
Onset pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada
komplikasi lain seperti sinusitis.7
Gambar 1. Inflamasi pada rhinitis Alergi.1
Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 %
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
4
kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi
yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan
alergi.8
a. Sumber pencetus9
Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap
partikel udara seperti berikut ini:
_ Ragweed – Bulubulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus
(di musim gugur)
_ Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)
_ Serbuk sari pohon (di musim semi)
_ Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daundaun kering, umumnya
terjadi di musim panas)
Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi
terhadap partikel udara seperti berikut ini:
_ Bulu binatang peliharaan
_ Debu dan tungau rumah
_ Kecoa
_ Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis
b. Faktor Risiko9
_ Sejarah keluarga alergi
_ Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau
eksim
_ Paparan bekas asap rokok
_ Gender lakilaki.9
Klasifikasi
Rhinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe yaitu :2
1. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan
alergen dari luar rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan
angin untuk penyerbukannya dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sari
5
berbeda-beda bergantung geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah
serbuk yang ada di dalam udara. Udara panas, kering dan angin
mempengaruhi banyaknya serbuk di udara bila dibandingkan dengan saat
udara dingin, lembab dan hujan, yang membersihkan udara dari serbuk
tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di Negara dengan 4 musim
2. Rhinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak dengan
allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, kecoa,
tumbuhan kering, jamur, bulu binatang atau protein yang dikandung pada
kelenjar lemak kulit binatang. Protein ini dapat tetap berada di udara selama
berbulan-bulan setelah binatang itu tidak ada diruangan.2
Namun, definisi di atas kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan
nyata. Karena, serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan
gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi kembali pedoman Rhinitis
alergika, berdasar waktu dan frekuensi gejala yang ada. Intermittent Allergic
Rhinitis dan Persistent Allergic Rhinitis, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat
keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat.1
World Health Organization (WHO) merekomendasikan pembagian rhinitis
alergi ke dalam dua klasifikasi :3,8
1. Intermittents (kadang-kadang), gejala yang ditemukan kurang dari 4 hari
per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.
2. Persistent (menetap), gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari
Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat
olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak
ada keluhan mengganggu.
2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut
; tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan
saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang
menggangu.3,8
6
Patofisiologi
Dalam patogenesis rhinitis alergi, dapat dibedakan ke dalam fase
sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap
efektor.


Narasumber : dr.Christian D Bato


Yehet.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar