BAB III
PEMBAHASAN
Definisi
Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau menyertai
campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi. Rinitis
disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rinitis alergi,
rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam rhinitis
kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu bentuk
rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh kuman
Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A.
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi
yang disebabkan oleh reaksi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Rinitis
alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah mukosa hidung
terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.
Etiologi
Gejala
rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:
1. Alergen
Alergen
hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika.
Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama
penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan
balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa
polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok,
sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen,
dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini
telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non
steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang
diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1
jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama
dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th
2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk
ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin.Pl at el et Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5,
IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1
pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(I
C AM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan
melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan
netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein(E DP ),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat
gejala seperti asap rokok,
bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Gambaran Histologik
Secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga 24 oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer
yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.Gejala
spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini
disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung
langit- langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue)..
3. Pemeriksaan
Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi
dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,
tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan
cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test´). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan.
3.7 Diagnosis banding
Rhinitis non
alergi, rhinitis infeksi, dan common cold
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya
gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya
aktivitas parasimpatis. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan
non-alergi. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi
sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan
suhu luar, latihan jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal
faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Tabel.
Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor
Penatalaksanaan rinitis vasomotor
bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas
tindakan konservatif dan operatif. Beberapa faktor yang mempengaruhi
keseimbangan vasomotor :
1.
obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. satu atau
sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint
Task Force on Practice Parameters) yang mewakili theA AA AI, the ACAAI, dan
JCAAI) yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia. JTFPP
mengakui bahwa TIAS merupakan satu-satunya pengobatan antigen-specific
immuno-modulatory pada penggunaan rutin, dan diakui memiliki manfaat jangka
panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi dan kualitas hidup pasien sampai
2-5 tahun setelah dihentikan.
Secara imunologis, TIAS mempengaruhi
keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih meningkatkan respon Th1, dan menekan respon
Th2. TIAS juga meningkatkan kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerjaIgE in vitro. TIAS menginduksi IL-10 dan TGF
- producing T cells (TReg). IL-10 dan TGF- memiliki potensi anti alergi
terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin tersebut juga
menginduksi sel B dalam memproduk IgG4. dan IgA. Sesuai dengan anjuran
ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat mil
persis tertata moderate-severe
persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk -
serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh pengobatan medikamentosa dan telah
bergejala lebih dari setahun, perlu dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus
dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
Antihistamin
Antihistamin
bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam reseptor histamin
yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblokpada pengobatan rinitis
alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot polos, dan
otak.
Gambar.T arget-targetterapi rhinitisalergika.
Saat ini antihistamin (AH1) yang
beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah
mulai menggeser kepamoran generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan.
Perbedaan menonjol di antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar
darah otak dan selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik
sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan
penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga
tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan
adrenergik alfa.
Kelebihan lain generasi dua adalah
mempunyai efek antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat
menghambat pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan
antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel
konjungtiva.
Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya,
kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid
topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten
(menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid
topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal
antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan
produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegahs wit c hi ng dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan
lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan
ekspresiGM- CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah
eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi,
kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1. Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk,
seperti dilansir dariBritis h Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa
kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini pertama
rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi
keamanan
danc ost- effectivenya.
Kortikosteroid sistemik hanya
digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang
refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
Dekongestan
Dekongestan
dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi
melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10
menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan
kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang
terjadi. Takifilaksis dan gejalar e bound
(rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka
panjang, gejala timbul dengan cara
menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan tersier
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit.
Banyak
penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan
penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila dihitung secara kasar,
negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International
Congress of Allergy and ClinicalImmunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico
mengemukakan, rinitis alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2
juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar US$ sebagai
akibat kehilangan produktivitas kerja dan terapi dengan antihistamin di Amerika
Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh
dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan
kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat
diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant
inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi.
Penderita
juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus
dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi
pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang
optimal.
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka
inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.
3.9 Komplikasi
Komplikasi
rinitis alergi yang paling sering adalah :
- Polip
hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
- Otitis
media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
- Sinusitis
paranasal.
Kedua
komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi,
tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E.,
Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi ke lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2004.
2. AdamsG.,
Boies L., Higler P.BukuAjar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery.
Edisi ke delapan. McGrawl-Hill. 2003.
4. Becker,
W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and
Throat Disease. Edisi kedua. Thieme. New York:1994.
5. Newlands,
Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of
Head and Neck Surgery Otolaryngology.
3rd edition. Volume 1. Lippincot:
Williams & Wilkins. Philadelphia.
273-9. 2000.
6. Mygind,
Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical
Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen.
159-165. 1993.
7. Krouse,
John H. Chadwick, Stephen J.Gordon, Bruce R. Derebery, M. Jennifer. Allergy
and Immunology, An Otolaryngic Approach. Lippincott Williams&Wilkins. USA.
209-219. 2002.
8. Sumarman,
Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan PencegahanRinitis Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 2000.
9. Mansjoer,
Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001. 10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA(Allergic Rhinitis
and Its Impact on Asthma Initiative).
Narasumber ; dr.Christian D Bato
Yehet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar