BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar belakang
Gangguan alergi yang melibatkan
hidung ternyata lebih sering daripada perkiraan
dokter maupun orang awam, yaitu menyerang 10 % dari populasi umum. Hidung,
sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu oleh
manifestasi alergi primer, rhinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi
perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis relative ringan karena
edema, dan akhirnya, efek lanjut karena gangguan alergenik kronik, seperti
hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh
kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rhinitis alergi, baik langsung
ataupun tidak langsung.
Rinitis alergi adalah penyakit umum
yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30
tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan
alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus
dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya
yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila
penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI,
DAN FISIOLOGI HIDUNG
2.1 Anatomi dan Embrilogi
Hidung
Untuk
mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu
diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar
atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya,
serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam
hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum
nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares
anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi
anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya
sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan
superior.
Dinding medial hidung ialah septum
nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka
media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu
celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika,
sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.
2.2 Perdarahan
Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina
mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang
sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
2.3 PerarafanHidung
Bagian depan dan atas rongga hidung
mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang
dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain
memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung.Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus
olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2.4 HitologiHidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa
yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa
respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian
besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
(pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia,
menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda
dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan
epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut
lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian
mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada
fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia
dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental
dan obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung
mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam
dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel.
Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan
susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang
erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. Mukosa sinus
paranasal berhubungan dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa
sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya
juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama
ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia
dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan.
2.5 FisiologiHidung
Fungsi hidung ialah untuk jalan
napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai
indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks
nasal.
a. SEBAGAI JALAN NAPAS
Pada inspirasi, udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
b. PENGATUR
KONDISI UDARA
Fungsi hidung sebagai pengatur
kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus
paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur
suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi
ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.
Mengatur suhu. Fungsi ini
dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.
c. SEBAGAI
PENYARING DAN PELINDUNG
Fungsi
ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut
lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah
enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme16.
Rinoskopi anterior adalah
pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai spekulum hidung. Di
belakang vestibulum dapat dilihat bagian dalam hidung. Saluran udara harus
bebas dan kurang lebih sama pada kedua sisi. Pada kedua dinding lateral dapat
dilihat konka inferior. Hal-hal yang harus diperhatikan adalh:
1. Mukosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda. Pada radang berwarna merah,
sedangkan pada alergi akan tampak pucat atau kebiru-biruan (livid).
2. Septum.
Biasanya terletak ditengah dan lurus. Diperhatikan apakah terdapat deviasi,
krista, spina, perforasi, hematoma, abses dan lain-lain.
3. Konka.
Diperhatikan apakah konka besarnya normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau
atrofi.
4. Sekret.
Bila ditemukan sekret di dalam rongga hidung, harus diperhatikan banyaknya,
sifatnya (serus, mukoid, mukopurulen, purulen atau bercampur darah) dan
lokasinya (meatus inferior, medius atau superior). Lokasi sekret ini penting
artinya, sehubungan dengan letak ostium sinus-sinus paranasal dan dengan
demikian dapat menunjukkan dari mana sekret tersebut berasal. Krusta yang
banyak ditemukan pada rinitis atrofi.
5. Massa.
Massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah polip
dan tumor.
Pada anak dapat ditemukan benda asing.
Rinoskopi posterior adalah
pemeriksaan rongga hidung dari belakang, dengan menggunakan kaca nasofaring.
Dengan mengubah-ubah posisi kaca, kita dapat melihat koana, ujung posterior
septum, ujung poeterior konka, sekret yang mengalir dari hidung ke nasofaring
(post nasal drip), torus tubarius, ostium tuba dan fosa rosenmuller.
Akhir-akhir ini dikembangkan cara
pemeriksaan dengan endoskop yang disebut nasoendoskopi. Dengan cara ini
bagian-bagian rongga hidung yang tersembunyi yang sulit dilihat dengan
rinoskopi anterior maupun posterior akan tampak lebih jelas.
Narasumber : dr.Christian D Bato
Lanjutannya ada di post berikutnya ^^
Yehet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar